“There’s nothing that can outweigh a mother’s du’a” (anonymous)

“Mba, keluarganya semuanya berpendidikan tinggi ya? Koq mba sampai bisa S3 gitu? Bahkan di 10 besar universitas ternama di dunia.”, tanya seorang muslimah dari ujung Indonesia sana. Ada sebersit ragu dalam tanyanya.

“Alhamdulillaah tidak. Bisa dibilang, sayalah orang pertama di keluarga saya yang menempuh sarjana. Dan saya jugalah orang pertama di keluarga besar saya yang kuliah hingga menjejak S3.”

Lho koq bisa?

Saya selalu meyakini bahwa doa orang tua, utamanya ibu kita begitu besar kekuatannya. Segala doa yang terucap dari lisannya mampu mengetuk pintu langit melewati batas cakrawala. Lirih ucapnya, mampu menghadirkan barokah dalam setiap keping peristiwa. Deru tangisnya, mampu menggetarkan Arasy Allah pada tingginya singgasana. Maka saya akan berbagi kisah mengenai ibu saya, tentang sosok wanita sederhana yang menggenggam kuatnya cita.

Ibu saya adalah sosok sederhana yang memiliki cita-cita yang kuat. Keterbatasan pengetahuannya tidak menyempitkan harapnya agar anaknya dapat terus lanjut bersekolah. Ibu saya adalah seorang anak desa, yang bahkan di usia 3 hari nya sudah ditinggal oleh orang tuanya, dititipkan kepada eyang yang saat itu menjabat sebagai lurah. Saya pernah mendengar kisahnya tentang makan nasi tiwul, nasi perak (bacanya pake ‘e’ ya) dengan garam, atau bekerja di ladang yang mewarnai kisah perjalanan hidupnya. Dan qadarullah, beliau hanya sempat merasakan nikmatnya pendidikan hanya sampai di sekolah dasar.

Memang betul ibu saya bukanlah tipe wanita karir berpendidikan tinggi atau wirausahawan sukses, ia memutuskan untuk menjadi seorang ibu rumah tangga dengan menggenggam sebuah cita untuk anaknya, agar mereka dapat mengenyam pendidikan hingga sarjana. Itu saja! Maka betapa bahagianya saya saat dapat melihat tangis harunya di hari wisuda saya. Maka menjadilah motivasi dalam hati saya, ingin memberikan kebanggaan untuk mereka berdua.

mapres-fkmui
Bahagia melihat raut harunya saat menerima penghargaan mahasiswa berprestasi FKM UI 2009 *foto jadul, jadi maklum kalau kualitas gambarnya kurang bagus 😀

Tentu saya tak bisa jua salahkan bila ada pola pengasuhannya yang mungkin tidak selaras dengan teori-teori parenting saat ini. Tak bisa juga saya salahkan, saat ia tidak dapat membantu saya dengan PR-PR yang diberikan oleh ibu guru untuk dikerjakan di rumah. Saya pun tidak menyesali saat ia tidak paham apa itu ekskul atau membantu memberi arahan saat akan memilih jurusan di universitas. Saya pun harus memahami, saat ia tidak mengerti perbedaan beban kuliah antara master dan doktoral, apalagi apa itu IELTS, CAS (Confirmation of Acceptance for Studies) atau ATAS (Academic Technology Approval Scheme).

Namun dari sosok sederhana itu, saya ingin belajar banyak darinya. Tentang kekuatan cita-cita, tentang keyakinan akan kuasa-Nya, tentang makna besarnya cinta kepada putra putrinya, tentang mendukung penuh anaknya berkarya, tentang pengorbanan yang tiada habisnya.

Ya, dari beliau, saya belajar bahwa kecintaan kepada ilmu tidak membatasi siapapun juga. Yang dengan berharap menaikkan derajat di surga, mampu mewujudkan cita menjadi nyata. Saya belajar bahwa dengan keyakinan dan ikhtiar maksimal, kelak akan membawa keberhasilan dan berlipat kebaikan. Bahwa memiliki keterbatasan, dapat menempa ketangguhan dan kekuatan dalam berjuang.

Ya, dari beliau, saya belajar untuk selalu mendukung dan menemani perjuangan sang anak. Meski ia tak paham entah karya tulis apa yang saya kerjakan hingga lewat pukul dua malam, tetap ia suguhkan cemilan ringan atau sekedar jus buah segar. Yang dengan menahan kantuknya, akhirnya ia tertidur di sofa ruang tamu, hanya demi menemani sang anak yang menatap serius laptopnya untuk bekerja menuai karya.

Ya, dari beliau, saya belajar untuk menyediakan waktu dan perhatian yang cukup untuk anak. Saya rasa tidak banyak orang tua yang dapat selalu menyiapkan bekal untuk anaknya, bahkan hingga saya lulus menjadi sarjana dan pergi bekerja. Rutinitas itu hampir tidak pernah absen setiap harinya. Sarapan menjadi bagian dari rutinitas wajib dengan segelas susu coklat sebagai pelengkap. Kotak bekal senantiasa menjadi teman perjalanan, memastikan hanya makanan halal dan bergizi yang mengisi lambung perut kami. Maka tak heran, jika saya tidak familiar dengan restoran-restoran yang begitu menjamur berkembang, tetap bekal dari ibulah menjadi makanan favorit saat makan siang. Maka tak ayal, meskipun agenda padat mengisi hari, selalu ada kekuatan yang menemani.

Ya dari beliau, saya belajar untuk memberi kepercayaan kepada anak untuk membaktikan diri kepada dakwah. Tentang kerelaan “membagi” anaknya agar dapat memberi lebih banyak maslahat kepada sekitar. Masih saya ingat senyumnya selalu mengiringi kepergian saya di pagi hari, dari pintu kecil di belakang rumah kami, memandangi saya yang berjalan cepat hingga tak lagi kelihatan di tikungan jalan. Yang begitu maklum, jika saya baru bisa sampai di rumah pukul 8 malam, bahkan kadang lewat dari jam 9 malam jika ada syuro yayasan. Beliau pula yang mengizinkan anaknya untuk terus meningkatkan kapasitas diri, mulai dari les Bahasa Jepang, Jerman, Arab, hingga tahsin dan talaqqi.

Ya, dari beliau, saya belajar makna akan kekuatan cita-cita, tentang pantangnya berputus asa, dan senantiasa bersemangat merajut asa. Meski ia tidak paham usaha-usaha apa yang harus dikerja di setiap anak tangga menggapai cita, hanya nada positiflah yang selalu terdengar dari lisannya. Jika kerutan di dahi sudah terlihat pada raut wajah saya, segera ia suguhkan semangat agar pantang berputus asa. Tak akan pernah saya lupa saat saya harus melahirkan seorang diri bersama suami di Inggris, hembusan semangat jualah yang ia hadirkan melalui voice note. Yang semangat dek, insya Allah sebentar lagi keluar”, begitu ujarnya karena sudah hampir 2 jam saya mengejan, sang bayi belum juga terlihat akan keluar. Ya, nada semangat itulah yang selalu saya dengar darinya. Restu darinya agar saya dapat melanjutkan sekolah dengan berbekal beasiswa. Bisa jadi, orang tua kitalah yang lebih cemas-cemas harap saat menanti keputusan beasiswa dan kabar studi lanjutan anaknya (colek misua :D). Mungkin mereka jualah yang lebih banyak doa-nya, dibandingkan kita yang memiliki pinta.

ibu

“Mother is the only person that forgets to pray for herself, because she’s too busy praying for her children” (anonymous)

Maka saya selalu menanamkan keyakinan ini dalam hati, bahwa bisa jadi, kemudahan-kemudahan yang kita dapatkan dalam hidup, sebagiannya adalah pengabulan atas doa-doa ibu dan ayah kita. Bahwa keshalihan kita hari ini, mungkin karena amalan dan ikhlas pinta mereka dalam hati. Bahwa kebaikan yang kita rasa, bisa jadi adalah buah dari ijabah tulus mereka meminta kepada rabb-Nya.

Bukankah lantunan doa mereka begitu dekat dengan ridho-Nya? Saat iman menghias taqwa menggiring iradat-Nya. Saat keyakinan akan kuasa-Nya kan mampu mewujudkan cita. Saat doa-doa dari lisan orang tua kita mampu mengetuk pintu langit menjemput ijabah-Nya. Maka jangan pernah kita sombong dan lupa untuk berbakti kepada mereka, sedangkan kasihnya yang selalu menemani dalam setiap pergantian masa. Maka peluklah mereka. Berikan bakti kita. Bahagiakan hatinya. Ukirlah senyuman terindah di usia senjanya.

“Thank you Ya Rahman, for the mom you gave me. She was tough enough to let me grow, soft enough to hug me, yet strong enough when needed to tell me no. Tender enough to cry with me, yet smart enough to tell me to let it go. She may not have been perfect, but she was perfect for me. So thank you very much for giving me just the kind of mother you knew I would need. Ya Rahim, may every tear that has ever fallen from her tired eyes on my behalf become a river for her in Your paradise. Ameen…”

ibu3

Pengingat bagi diri yang sering terlupa.

Saat saya jadi beneran baper kangen pulang ke Indonesia 😀

London, 22 Oktober 2016

Pukul 00.26