“Education would be much more effective if its purpose was to ensure that by the time they leave school every boy and girl should know how much they do not know, and be imbued with a lifelong desire to know it.” (William Haley)

Hari Jum’at lalu merupakan parents meeting di sekolah si kecil. Kalau di Indonesia, mungkin istilahnya ambil raport. Disini kami menyebutnya parents meeting. Dan ini dilakukan per term sekali. Jadi dalam satu tahun, ada 3 kali parents meeting. Di catatan kali ini, saya ingin merangkum bagaimana si kecil melalui masa nursery-nya di salah satu sekolah Islam di London, berikut hal-hal yang bisa kita pelajari dari sistem pendidikan nursery disini. Bagi yang belum tahu, nursery itu setara dengan TK nol kecil mungkin ya kalau di Indonesia, saat anak berusia 3 atau 3.5 tahun memulainya. Kalau di Inggris, anak-anak sudah mendapat fasilitas sekolah gratis sejak usia 3 tahun.

Kalau kembali flash back 1 tahun silam, kami memutuskan agar si kecil sekolah di Sekolah Islam. Allah Maha Baik, di tengah segala keterbatasan tinggal di negara yang minoritas muslim ini, Allah beri rezeki kami tinggal di daerah yang cukup banyak warga muslimnya. Masjid tak jauh terletak dari rumah, butcher halal mudah ditemukan, bahkan sekolah islami yang terbilang jarang, lokasinya hanya 7 menit jalan dari rumah kami. Alhamdulillaah ‘ala kulli hal…

Nursery4
Foto saat pertama kali si kecil berangkat ke sekolah 🙂

Kembali kepada topik parents meeting. Masih saya ingat Desember 2016 lalu guru pembimbing Najwa menunjukkan perkembangannya, dan masih saya ingat ada beberapa aspek yang belum mencapai targetan. Maklum, si kecil baru mulai beradaptasi, belajar bersosialisasi dan berkomunikasi, masuk ke sekolah yang full berbahasa Inggris sedangkan kami di rumah selalu bicara dalam Bahasa Indonesia kepada Najwa. Dan Jum’at kemarin, saat saya melihat laporan akhir tahun untuknya, dengan bangga sang guru berkata, “She is very smart masha Allah. For some areas of achievement, she did more than our expectation. All of the teachers here love her. Masha Allah… Tabarakallah”.

Maka di blog post saya kali ini, saya ingin merangkum beberapa point penting (yang saya ingat) yang mungkin bisa kita ambil pelajaran dari sistem pendidikan nursery disini (usia 3-4 tahun).

  1. Assigned teacher

Jadi kalau disini, setiap anak itu memiliki guru pembimbing masing-masing. Guru pembimbing itulah yang bertanggung jawab penuh untuk memantau perkembangan sang anak. Kalau di sekolah negeri Indonesia bisa jadi satu kelas dipantau oleh satu guru (wali kelas), kalau disini, satu guru memegang 5-8 murid. Jadi tentu akan lebih fokus memperhatikan perkembangan masing-masing anak. Sebelum masuk nursery, guru pembimbing Najwa main ke rumah. Tujuannya agar sang anak mengenal guru pembimbingnya dan sang guru bisa meng-assess kebiasaan sang anak di rumah dan karakternya.

  1. Self-confidence and independence

Ada satu perkataan guru pembimbing Najwa yang saya ingat saat parents meeting pertama, “I remember that you said Najwa has already able to write, spell, and memorize things before she starts nursery. But the first thing we need to teach a child before she can read or write, is how to build their self-confidence, make them independent and teach them how he/she could socialize well with her peers and environment

Deg! Merasa tertohok saya. Lalu berkaca dan mengevaluasi rencana. Saya teringat kebanyakan orang tua Indonesia lebih sibuk mendorong anaknya untuk bisa cepat baca tulis di usianya yang masih sangat muda, dan ternyata memang bukan itu intinya. Justru aqidah, akhlaq dan bagaimana mereka bersikap adalah yang utama. Dan saya pun bersyukur karena Najwa sempat merasakan pendidikan awalnya di Inggris, karena disini, tak pernah ada seruan “Huuuu…” saat temannya tidak mengerti di kelas. Tidak ada istilah “stupid questions” disini. Tidak ada sikap malu-malu untuk bertanya saat tidak mengerti. Tidak ada kata bodoh saat kegagalan menghampiri.

Saya terbayang mengapa kebanyakan anak-anak UK terlihat begitu percaya diri, karena memang karakter itu dibangun sejak mereka masih kecil. Tidak ada kalimat negatif yang keluar dari sang guru jika kegagalan yang didapat oleh sang murid, mereka hanya berkata “Don’t worry, that’s fine. We can try again later”, atau ungkapan “Good job, you did well”, “Masha Allah, well done dear!” saat sang murid melakukan pekerjaan yang sebenarnya tidak seberapa, tapi penghargaan itu selalu diberikan untuknya. Dan mereka begitu mudah memberi apresiasi dan berkata “I am very proud of him/her”. Kalimat yang mungkin sangat diidamkan oleh anak-anak kita dari lisan orang tuanya.

Dan saya merasa, disitulah letak kelemahan para orang tua di Indonesia, lebih suka berkata kepada anak “Koq segitu sih nilainya?”, “Tuh, temannya aja bisa”, atau “Ini salah tauk! Begini aja ga tahu” dan kalimat-kalimat yang membuat jiper lainnya atau merasa dibandingkan dengan kawan sebayanya. Maka tak heran, pribadi anak Indonesia kebanyakan inferior, merasa merendah dan menganggap orang luar negeri itu lebih hebat dan berprestasi. Mereka kebanyakan malu-malu saat ingin bertanya, takut dikira bodoh. Tak berani mengungkapkan pendapat, takut salah atau dibilang sok tahu. Mereka takut dengan kata “gagal”, seolah tak ada lagi harapan. Lebih baik tidak mencoba daripada mendapat gagal di akhirnya. Dan seterusnya, dan seterusnya…

Aah… sebenarnya ini hanya sekedar refleksi bagi diri saya sendiri. Agar lebih berhati-hati. Berusaha agar kalimat yang keluar kepada anak dari lisan ini, senantiasa yang menyemangati, bukan mengahakimi apalagi menyakiti…

Nursery7
Najwa saat mengikuti acara sports day di sekolah
  1. Ga ada istilah tidak naik kelas

Kalau disini, tidak ada istilah anak tidak naik kelas. Semua murid akan terus belajar sesuai dengan jenjangnya. Kekurangan atau apa-apa yang harus diimprove di satu level, akan disampaikan kepada guru di level selanjutnya. Jadi membangun kapasitas sang anak akan terus berjalan berkelanjutan. Jadi ga akan kita temui anak yang malu karena tidak naik kelas, tidak ada anak yang minder karena hal demikian.

  1. Ga ada sistem ranking

Naaah… selain tidak adanya istilah “tidak naik kelas”, di Inggris juga tidak menerapkan sistem ranking. Jadi ga ada tuh tulisan nama-nama murid yang menempati ranking 1 s.d 10 di papan tulis seperti yang saya rasakan saat SD dulu. Sang anak juga tidak merasa berkecil hati saat namanya tidak ada di papan tulis.

Mengenai hal ini, saya jadi ingat perkataan Bapak Sofyan Djalil, saat berdiskusi bersama di London. Menteri Agraria dan Tata Ruang Indonesia itu berkata, banyak anak Indonesia yang menjadi lemah mentalnya karena sistem ranking. Banyak yang menganggap bahwa dirinya itu tidak berhasil hanya karena tidak masuk 10 besar, padahal setiap anak pasti punya kelebihan di bidangnya masing-masing. Sistem ranking banyak membuat anak Indonesia tidak percaya diri, atau bersusah payah mengejar peringkat pertama tapi melupakan bakat yang dimilikinya.

Belajar Dari Menteri
Diskusi bersama Bapak Sofyan Djalil
  1. Raport murid itu deskriptif, bukan berdasarkan nilai

Saya lupa-lupa ingat sih dulu saat TK raport nya seperti apa. Yang jelas waktu SD raport saya penuh dengan angka, kemudian ada satu dua kalimat di bagian bawahnya :D. Kalau di nursery ini, perkembangan anak tidak dinilai dengan angka, namun deskriptif penjelasannya. Apa-apa yang sudah dicapai oleh sang anak, pun hal-hal yang perlu dicapai dengan bantuan orang tua dan gurunya.

Nursery1
Contoh paparan deskriptif dari guru Najwa
  1. Point-point perkembangan berdasarkan usia

Di Inggris sendiri, ada 7 aspek yang perlu dipenuhi pada saat anak berusa 15-40 bulan.

  • Personal Social and Emotional Development
    1. Making relationships
    2. Self-confidence and Self-Awareness
    3. Managing feelings and behaviour
  • Communication and Language
    1. Listen and attention
    2. Understanding
    3. Speaking
  • Physical Development
    1. Moving and handling
    2. Health and self-care
  • Literacy
    1. Reading (bukan s.d bisa membaca, hanya diajarkan spelling phonics sounds)
    2. Writing (menulis huruf abjad dan angka)
  • Mathematics
    1. Numbers
    2. Shape space and measure
  • Understanding the World
    1. People and communities
    2. The world
    3. Technology
  • Expressive Arts and Design
    1. Exploring and using media and materials
    2. Being imaginative

Nanti ada kategori penilaian untuk masing-masing aspek di atas. Akan ditandai dengan “met” jika sang anak sudah memenuhi targetan, “almost” jika sudah hampir tapi belum sepenuhnya, dan “target” yaitu hal yang perlu kita improve bersama. Dan targetan ini memang disesuaikan dengan usianya. Benar-benar pada hal yang simple, seperti membentuk pertemanan, percaya diri menyampaikan pendapatnya, mau bersabar saat diminta menunggu, mendengarkan saat guru menjelaskan, memegang pensil atau menggunakan gunting, menceritakan situasi di sekitarnya, memahami tumbuh kembang, dsb.

Nursery2
Laporan perkembangan Najwa dari term 1 (paling kiri), term 2 (tengah), dan term akhir (paling kanan). Bisa dilihat progress perkembangannya…
  1. Merekam perkembangan anak dari waktu ke waktu (dan mendokumentasikannya)

Yang saya suka dari sistem disini adalah, setiap hasil kreativitas anak disimpan dan diabadikan dalam foldernya masing-masing. Saat di penghujung term, sang guru akan menyerahkannya kepada orang tua. Jadi saya benar-benar melihat perkembangan si kecil di sekolahnya. Meskipun itu mungkin hanya corat coret sederhana atau foto kegiatan di sekolahnya. Huhu… terharu…

Nursery3

  1. Semua anak itu spesial!

Point penting yang saya dapat dari pendidikan di sini adalah, semua anak itu spesial!! Setiap anak punya kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Bisa jadi ia jago di bidang X, but lacking on the B side. Maka wajar jika sang guru tidak memberikan ranking, namun memberikan penilaian deskriptif untuk meningkatkan kemampuannya. Jadi ga perlu terlalu sedih dan kecewa dengan kekurangannya, tugas kita adalah membimbingnya. Menjadikan mereka sebaik-baik hamba yang memberi kebermanfaatan untuk semesta.

Selain itu, guru disini juga tidak pernah mengatakan bahwa sang anak itu nakal atau jahil, mereka selalu mengatakan hal yang positif. Kalaupun ada kekurangan, selalu disampaikan menggunakan bahasa yang super positif. Contohnya, “Your son is an active boy, he likes to play a lot a school. He would benefit from learning to play in a group with sharing with others”. Bisa jadi disini sebenarnya yang dimaksud sang guru adalah anaknya suka pelit sama mainan, berantem kalau mainannya dipinjam teman yang lain a.k.a tidak mau sharing. Tapi lihat deh, bahasanya super haluuuuss banget.

Kalau sang guru aja bisa sesabar itu dengan anak kita, kita seharusnya sebagai orang tua harus bisa lebih positif, lebih bersabar, lebih percaya kepada anak-anak kita bahwa setiap diri mereka adalah istimewa. Jangan terlalu cepat kecewa kepada mereka, karena hakikatnya, perkembangan mereka adalah cerminan didikan orang tuanya. Beri apresiasi untuk setiap pencapaiannya (sekecil dan sesederhana apapun juga), tanam kesabaran dalam setiap anak tangga proses pengajaran, iringi dengan keikhlasan. Buat mereka percaya dengan kemampuannya, dan bimbing langkahnya untuk menjadi sebaik-baik hamba yang bertaqwa. Semoga Allah mampukan kita, menjadi orang tua yang dapat membimbing langkah kecil anak-anak kita menuju keridhoan-Nya…

Mungkin sekian sharing saya kali ini (ini aja cukup panjang :D). Saya juga menyadari, sistem sekolah-sekolah Islam di Indonesia juga sudah mulai mengikuti. Semoga dimanapun kita berada, kita dapat memberikan yang terbaik untuk anak sebaik yang kita bisa. Insya Allah akan kembali dengan catatan si kecil saat di reception per September nanti. Insya Allah saat reception nanti belajarnya sudah mulai lebih serius. Ada jadwal belajar Qur’an, bahasa Arab, dan bahasan tarbiyah di luar pengajaran kurikulum yang sama dengan sekolah negeri lainnya. Doakan agar Allah berkahi dan mudahkan setiap anak tangga perjalanannya, agar ia menjadi anak yang shalihah dan bermanfaat untuk sekitarnya.

Nursery5

“If I had my child to raise all over again, I’d build self-esteem first, and the house later. I’d finger-paint more, and point the finger less. I would do less correcting and more connecting. I’d take my eyes off my watch, and watch with my eyes. I’d take more hikes and fly more kites. I’d stop playing serious, and seriously play. I would run through more fields and gaze at more stars. I’d do more hugging and less tugging.“ (Diane Loomans)

Menjelang Shubuh
Tottenham, pukul 03.10 BST