“Ilmu adalah pemimpin amal, dan amal adalah pengikut ilmu”
(Dari kitab al-Amru bil Ma’ruf wan nahyu anil munkar karya Ibnu Taimiyyah halaman 15).

Saat ini di Indonesia sedang ramai dibahas polemik vaksin MR. Banyak sekali yang sudah japri saya menanyakan pendapat saya perihal hal ini. Saya mohon maaf belum bisa membalas satu-satu. Dikarenakan situasi dan kondisi, saya belum bisa menuliskan pembahasan ini dari kacamata pribadi, walaupun sebenarnya pandangan saya sebagai seorang epidemiologist sama dengan yang sudah saya sampaikan pada postingan blog sebelumnya yang ini dan ini.

Maka pada postingan kali ini, saya akan share tulisan seorang kawan di Inggris, Mba Mila Anasanti yang sudah berbaik hati menuliskan panjang lebar dan membahas perihal vaksin MR baik dari sisi ilmiah maupun kafaah keagamaan yang baik (karena polemik MR ini lebih kepada titik kesimpangsiuran perihal halal dan haram, sedangkan perlu pemahaman fiqih yang baik untuk menjawab hal ini). Jadi di postingan blog kali ini, saya rangkumkan dan susun tulisan mba Mila di FB agar bisa dibaca oleh lebih banyak orang. Btw, mba Mila ini adalah PhD student di bidang Clinical Medicine di Imperial College London. Jazaakillaah ahsanul jaza atas effortnya untuk membahas perihal ini dengan panjang lebar. Silahkan diresapi dan semoga bermanfaat.

———-

Alhamdulillaah, akhirnya fatwa MUI telah keluar. Meskipun fatwa ini ibarat mata uang dengan dua sisi. Alias bisa jadi ‘senjata’ provaksin, tapi sekaligus senjata antivaksin, tergantung memandang pada sisi mana. Ada beberapa hal yang harus diluruskan dalam hal ini.

Apakah benar vaksin MR MENGANDUNG unsur babi?

Perhatikan fatwa MUI tidak menyebutkan ‘MENGANDUNG’ tapi ‘DALAM PROSESNYA MELIBATKAN UNSUR BABI’. Melibatkan dalam proses tidak menjadikan produk akhir mengandung babi (sebagaimana hasil uji lab terlampir yang menyatakan produk akhir vaksin MR tidak mengandung babi). Karena pada pembuatan vaksin juga terjadi istihalah dan juga melibatkan proses ultrapurifikasi, yaitu pencucian milyaran kali.

Jika memang dalam proses disebutkan melibatkan unsur dari babi, dalam box vaksin biasanya akan dicantumkan sebagaimana vaksin combo yang diboxnya ditulis pada proses pembuatannya bersinggungan dengan unsur dari babi. Kemungkinan ketersinggungan ini bukan pada tripsin karena penggunaan DNA rekombinan, tapi pada gelatin (salah satu eksipien vaksin MR). Gelatin pada umumnya diproduksi dari tulang sapi (bovine) atau tulang babi (porchine).

Mengapa tidak menggunakan tripsin sapi?

Asal tahu saja, penggunaan enzym tripsin dari hewan (baik sapi ataupun babi) sama-sama mengandung resiko, yaitu resiko terkontaminasi patogen dari hewan yang dipakai, yang ada kemungkinan tidak bisa dihilangkan sempurna (meskipun resiko ini kecil sebenarnya). Meskipun pada sebagian kecil produksi vaksin luar yang masih menggunakan tripsin babi ini, resiko itu dieliminasi sekecil mungkin dengan uji kelayakan berlapis-lapis. Tapi secara teoritis, resiko itu tetap ada. Demi kehati-hatian, sekecil apapun resiko itu, ilmuan berjuang mati-matian untuk menghilangkannya sama sekali. Maka saat ini sedang dikembangkan bahan-bahan pengganti yang tidak berasal dari hewan (animal-component free [ACF] atau animal origin free [AOF]). Alternatif dari tripsin hewan ini, saat ini sudah tersedia, yaitu dengan menggunakan enzim tripsin yang diproduksi dengan teknologi DNA rekombinan (recombinant trypsin) memanfaatkan kemajuan bioteknologi, sehingga tripsin tidak perlu lagi diambil dari hewan. Demikian juga dengan vaksin MR produksi India yang dipakai pemerintah saat ini, menggunakan tripsin rekombinan ini yang telah diproduksi dan diuji oleh ilmuwan-ilmuwan India dari SSI agar terbukti memiliki kemampuan yang sama dengan tripsin hewani tapi bebas dari resiko terkontaminasi patogen dari makhluk hidup, penelitiannya bisa ditemukan di jurnal ilmiah berikut ini. Jadi vaksin MR ini memakai DNA rekombinan yang bebas dari hewan.

Lantas apa hukum gelatin/tripsin yang terbuat dari bagian babi?

Gelatin maupun tripsin yang terbuat dari bagian babi mengalami proses istihalah (transformasi) alias perubahan bentuk di mana proses akhirnya tidak lagi sama sebagaimana bentuk awalnya sehingga tidak lagi dihukumi sebagaimana babi. Sebagaimana cuka yang pembuatannya berasal dari wine (haram) dihukumi halal ketika bertransformasi secara alami sehingga karakteristiknya tidak lagi sama.

Ulama-ulama dunia sendiri menerima istihalah pada penggunaan gelatin / tripsin babi pada vaksin, dan menyatakan kehalalan dzat yang telah mengalami istihalah dalam vaksin. Itulah sebabnya di negara-negara Islam yang lain, halal haram vaksin tidak seheboh di Indonesia. Ulama-ulama di negara muslim lain bahkan telah melakukan konferensi dengan WHO membahas masalah istihalah ini sejak lama dari tahun 2001, sebagaimana didokumentasikan di link ini.

Konferensi ini dihadiri 112 ulama dan ahli dari berbagai penjuru dunia yang membahas, menyetujui lalu menandatangi fatwa HALAL-nya gelatin yang berasal dari babi pada vaksin, di antaranya:

  1. Syaikh Muhammad Sayed Tantawi (Universitas Islam Al-Azhar, Cairo)
  2. Syaikh Mohammad Al Mokhtar Al Sallami (Tunisia)
  3. Syaikh Mohammad Ibn Hammad Al Khalily (Oman)
  4. Syaikh Mohammad Al Habiib Ibn Al Khojah (Islamic Fiqh Academy, Jeddah)
  5. Dr. Yusuf Al Qaradawy (Qatar)
  6. Syaikh Mohammad Rashid Qabani (Libanon)
  7. Syaikh Muhammad Taqi Al Osmani (Pakistan)
  1. Syaikh Dr. Hamid Gami’I (Universitas Islam Al-Azhar)
  2. Syaikh Dr. Khalid Al Mazkour (Kuwait)
  3. Syaikh Khalil Al Miis (Mufti Al Biqa’i, Libanon)
  4. Syaikh Dr. Ajil Jassim Al Nashmi (Kuwait)
  5. Dr. Mohammad Abdul Ghaffar Al Sharif (Kuwait)
  6. Dr. Wahba Al Zuhayli (Syria)
  7. Syaikh Mashaal Mubarak Al Sabah (Kuwait), dan masih banyak lagi

WHO ulama meeting

Selain itu beberapa ulama besar Saudi, diantaranya: Syaikh Abdul Aziz alu sheikh (Mufti Arab Saudi), Syaikh Abdul Aziz ibn Baz (saat menjabat ketua Al Lajnah Ad Daimah il Ifta, ketua MUI-nya Saudi), demikian juga Syaikh Abdul Muhsin al ‘Abad Al Badr (pengajar tetap Masjid Nabawi) juga putra beliau dosen/guru besar di Univ. Islam Madinah, Syaikh Abdur Razzaq ibn Abdul Muhsin al ‘Abad Al Badr, Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid (Imam masjid dan khatib di Masjid Umar bin Abdul Aziz di kota al Khabar KSA dan dosen univ. syariah, pengasuh situs http://www.islam-qa.com).

Demikian juga dengan Majlis Ulama Eropa untuk Fatwa dan Penelitian juga memutuskan bahwa istihalah dari produk yang pada prosesnya melibatkan unsur haram lalu pada produk akhirnya telah berubah maka hukumnya adalah halal. Bisa dibaca disini.

Sedangkan MUI sendiri sebenarnya letak masalahnya ada pada penolakan intifa’ (pemanfaatan) benda haram, sehingga ketika produk akhir tidak terdapat zat haram lagi maka akan tetap dihukumi haram karena pada prosesnya melibatkan unsur haram. Padahal dalam kaidah intifa’ yang diharamkan sebenarnya adalah pelakunya (produsen) sedangkan konsumen yang memakai cukup merefer pada produk jadi, alias menghukumi secara zahirnya. Jika produk akhir tidak terdapat zat haram, maka hukumnya halal. Kaidah fiqih dalam hal ini:

“Sesuatu yang diharamkan karena usahanya, maka ia haram bagi orang yang mengusahakannya saja, bukan pada yang lainnya yang mengambil dengan jalan yang mubah (boleh dengan berjual beli secara halal misalnya)” (Liqo’ Al Bab Al Maftuh, kaset no. 2, Syaikh Utsaimin)

Namun di sinilah dilemanya, karena SH (sertifikat halal) tidak sekedar memberikan jaminan produk halal bagi konsumen, tapi juga memberikan jaminan halal pada produsen, padahal dalam hal ini SSI (India) sebagai produsen sebenarnya sama sekali tidak butuh dijamin sebagai produsen yang memproses dengan cara yang halal, karena mereka non-muslim.

Karena dilema inilah akhirnya vaksin difatwakan MUBAH, yang artinya boleh dipakai alias tidak mengapa. Dalam hal ini MUI menggunakan kaidah fiqh “Ad-darurah tubihu al-mahzurat yang artinya kemudaratan mengharuskan perkara-perkara yang diharamkan, makna mengharuskan di sini membolehkan apa yang tadinya haram tidak lagi dihukumi dosa, namun justru diharuskan untuk diambil demi menghindarkan mudharat yang lebih besar (wabah). Kaidah yang dipakai dalam hal ini adalah: Idhaa ta’aarodho dhororooni daf’u akhfahuma, jika ada dua mudharat (bahaya) saling berhadapan maka di ambil yang paling ringan. Maka tidak salah jika bapak sekretaris komisi fatwa MUI kemudian justru menjadikan hukum imunisasi ini menjadi WAJIB.

rubella

Kali ini kita fokus pada bahasan “haram”, lalu menjadi “boleh”, karena “darurat”. Ketiganya harus dipahami sebagai suatu kesatuan, tidak bisa dipahami parsial.

Darurat yang haram berarti mubah, apa maknanya berarti boleh diambil boleh tidak?

Dalam kaidah fiqih, makna mubah dalam situasi darurat artinya membolehkan yang tadinya haram menjadi boleh diambil, tapi hukum mengambil yang haram itu menjadi KEHARUSAN/WAJIB, karena tidak ada yang membolehkan yang haram KECUALI JIKA SESUATU ITU MUTLAK HARUS DILAKUKAN KARENA TIDAK ADA PILIHAN LAIN ATAU PENGGANTINYA YANG SERUPA. JIKA ANDA MENGHUKUMI MUBAH VAKSIN YANG ADA DZAT HARAM DARI BABI TAPI ANDA TIDAK MAU MELAKSANAKANNYA, MAKA SAMA SAJA ANDA MEMBOLEHKAN YANG HARAM MESKI TIDAK DARURAT! DAN INI YANG DILARANG AGAMA!!!

Ini sama saja anda melecehkan MUI membolehkan apa yang MUI haramkan sendiri padahal menurut anda masih bisa ditinggalkan atau ada alternatif yang lain. Berapa banyak dosa yang harus ditanggung ulama-ulama MUI karena memfatwakan bolehnya yang haram padahal ada alternatif lain?

Dalam menghukumi permasalahan vaksin ada kaidah fiqih yang dipakai:

لاَحَــــرَامَ مَعَ الضَرُوْرَاتِ وَلاَ كَــــرَاهَةَ مَعَ الحَاجَةِ

(Tidak ada yang dihukumi haram ketika disertai dharurat dan tidak ada yang dihukumi makruh ketika disesertai kebutuhan).

Dengan kaidah fiqih ini, artinya apa saja yang haram TIDAK LAGI HARAM ketika darurat. Kaidah inilah yang dipakai para ulama sehingga membolehkan yang haram, sebagaimana Syaikh Shalih Al-Munajjid (Imam masjid dan khatib di Masjid Umar bin Abdul Aziz di kota al Khabar KSA, pengasuh situs http://www.islam-qa.com) menjawab permasalahan vaksin sebagai berikut:

لقسم الثالث : ما كان منها مواد محرَّمة أو نجسة في أصلها ، ولكنها عولجت كيميائيّاً أو أضيفت إليها مواد أخرى غيَّرت من اسمها ووصفها إلى مواد مباحة ، وهو ما يسمَّى ” الاستحالة ” ، ويكون لها آثار نافعة .

وهذه اللقاحات يجوز تناولها لأن الاستحالة التي غيَّرت اسم موادها ومواصفاتها قد غيَّرت حكمها فصارت مباحة الاستعمال .

“Vaksin yang terdapat didalamnya bahan yang haram atau najis pada asalnya. Akan tetapi dalam proses kimia atau ketika ditambahkan bahan yang lain yang mengubah nama dan sifatnya menjadi bahan yang mubah. Proses ini dinamakan “istihalah”. Dan bahan [mubah ini] mempunyai efek yang bermanfaat. Vaksin jenis ini bisa digunakan karena “istihalah” mengubah nama bahan dan sifatnya. Dan mengubah hukumnya menjadi mubah/boleh digunakan.” (Dirangkum dari: https://islamqa.info/ar/159845)

Apakah darurat harus menunggu terjadi wabah atau sekarat lebih dahulu?

Darurat secara bahasa bermakna keperluan yang sangat mendesak atau teramat dibutuhkan. Yang dimaksud darurat dalam kaidah ini adalah seseorang apabila tidak melakukan hal tersebut maka ia KHAWATIR akan binasa atau hampir binasa. Jadi memaknai darurat sendiri cukup karena kekhawatiran yang bisa diukur lewat penelitian para ahli yang bergerak di bidangnya. Bukan ketika sudah terjadi korban/wabah.

Berbagai definisi darurat dari ulama madzhab empat mempunyai pengertian yang hampir sama, yaitu kondisi terpaksa yang dikhawatirkan dapat menimbulkan kematian, atau mendekati kematian. Dengan kata lain, semuanya mengarah kepada tujuan pemeliharaan jiwa (hifh an-nafs). Sesungguhnya definisi darurat haruslah dikembalikan pada nash-nash yang menjadi sumber pembahasan darurat. Sebab istilah darurat memang bersumber dari beberapa ayat al-Qur`an, seperti dalam Qs. al-Baqarah [2]: 173; Qs. al-Maa`idah [5]: 3; Qs. al-An‘aam [6]: 119; Qs. al-An‘aam [6]: 145; dan Qs. an-Nahl [16]: 115).

Ayat-ayat ini intinya menerangkan kondisi darurat karena KHAWATIR terancamnya jiwa jika tidak mengkonsumsi yang haram, seperti bangkai dan daging babi, BUKAN KETIKA JIWANYA SUDAH TERANCAM/SEKARAT. Dari ulama 4 madzhab sendiri kaidah darurat bisa dipahami:

– Menurut Madzhab Hanafi

Al-Jashshash dalam Ahkamul Qur`an (I/150): darurat adalah RASA TAKUT atau kehancuran terhadap jiwa atau sebagian anggota tubuh bila tidak mengkonsumsi yang haram. Al-Bazdawi dalam Kasyful Asrar (IV/1518)

– Menurut Madzhab Maliki

Ibn Jizzi Al-Gharnati dalam Al-Qawanin Al-Fiqhiyah (hal. 194) dan Al-Dardir dalam Al-Syarh Al-Kabir (II/115) mengatakan, darurat ialah kekhawatiran akan mengalami kematian (khauf al-maut). Dan tidak disyaratkan seseorang harus menunggu sampai (benar-benar) datangnya kematian, tapi cukuplah dengan adanya KEKHAWATIRAN akan binasa, SEKALIPUN DALAM TINGKAT DUGAAN (zhann).

– Menurut Madzhab Syafii

Imam Suyuthi dalam Al-Asybah wa An-Nazha`ir hal. 61 mengatakan darurat adalah sampainya seseorang pada batas di mana jika ia tidak mengambil yang dilarang, ia akan binasa atau mendekati binasa. Muhammad Al-Khathib Al-Syarbaini dalam Mughni Al-Muhtaj (IV/306) menyatakan, darurat adalah RASA KHAWATIR akan terjadinya kematian atau sakit yang menakutkan atau menjadi semakin parahnya penyakit ataupun semakin lamanya sakit.

– Menurut Madzhab Hambali

Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni (VIII/595) menyatakan, darurat yang membolehkan seseorang mengambil yang haram (al-dharurah al-mubahah) adalah darurat yang DIKHAWATIRKAN akan membuat seseorang binasa jika ia tidak mengambil yang haram.

Jadi menurut ulama 4 madzhab, makna darurat tidak harus menunggu sekarat/wabah terlebih dahulu, sedangkan penyakit yang bisa dicegah oleh vaksin MR ini bisa mengakibatkan kematian atau cacat permanen. Kalau sudah terjadi apa gunanya vaksin dihukumi darurat dalam kondisi ini? Karena vaksin adalah pencegahan, sesuai dengan definisi darurat dari ulama 4 madzhab.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qoyyim, menerima konsep istihalah ini dengan menyatakan, “Jika bahan-bahan tersebut sudah melalui proses al-istihalah (perubahan zat) yang menjadi suatu produk yang baru, maka produk tersebut adalah suci dan halal, karena sifat najis bahan asal sudah hilang” (Majmu’ Fatawa: 21/611).

Kenapa vaksin MR dihukumi darurat?

Nah kan dari yang awalnya mempermasalahkan vaksin MR belum keluar fatwanya, setelah dikeluarkan fatwa mubah bahkan WAJIB untuk menghindari kematian, penyakit berat dan cacat permanen, lagi-lagi mempertanyakan, kenapa dihukumi darurat? Bukannya tidak ada wabah Rubella?

Kalau anda tidak pernah ketemu bukan berarti tidak ada. Di Indonesia sendiri dalam kurun 5 tahun terdapat 23.164 kasus campak dan 30.463 kasus rubella. Bukan jumlah yang sedikit! Baca link berikut ini.

Siapakah yang berisiko terkena Campak dan Rubella?

Setiap orang yang belum pernah divaksinasi Campak atau sudah divaksinasi tapi belum mendapatkan kekebalan, berisiko tinggi tertular Campak dan komplikasinya, termasuk kematian. Rubella adalah penyakit akut dan ringan yang sering menginfeksi anak dan dewasa muda yang rentan. Tetapi yang menjadi perhatian dalam kesehatan masyarakat adalah efek kepada janin (teratogenik) apabila Rubella ini menyerang wanita hamil pada trimester pertama. Infeksi Rubella yang terjadi sebelum terjadinya pembuahan dan selama awal kehamilan dapat menyebabkan keguguran, kematian janin atau sindrom rubella kongenital (Congenital Rubella Syndrome/CRS) pada bayi yang dilahirkan. CRS umumnya bermanifestasi sebagai Penyakit Jantung Bawaan, Katarak Mata, bintik-bintik kemerahan (Purpura), Microcephaly (Kepala Kecil) dan Tuli.

Gambaran situasi terkini penyebaran Campak dan Rubella di Indonesia.

Setiap tahun melalui kegiatan surveilans dilaporkan lebih dari 11.000 kasus suspek campak, dan hasil konfirmasi laboratorium menunjukkan 12–39% di antaranya adalah campak pasti (lab confirmed) sedangkan 16–43% adalah rubella pasti. Dari tahun 2010 sampai 2015, diperkirakan terdapat 23.164 kasus campak dan 30.463 kasus rubella.

Jumlah kasus ini diperkirakan masih lebih rendah dibanding angka sebenarnya di lapangan, mengingat masih banyaknya kasus yang tidak terlaporkan, terutama dari pelayanan kesehatan swasta serta kelengkapan laporan surveilans yang masih rendah.

Di Indonesia, Rubella merupakah salah satu masalah kesehatan masyarakat yang memerlukan upaya pencegahan efektif. Data surveilans selama lima tahun terakhir menunjukan 70% kasus rubella terjadi pada kelompok usia <15 tahun. Selain itu, berdasarkan studi tentang estimasi beban penyakit CRS di Indonesia pada tahun 2013 diperkirakan terdapat 2.767 kasus CRS, 82/100.000 terjadi pada usia ibu 15-19 tahun dan menurun menjadi 47/100.000 pada usia ibu 40-44 tahun.

rubella 2

Darurat masih boleh pilih karena ada alternatif lain? Kenapa Indonesia tidak menciptakan vaksin halal sendiri?

MUI memfatwakan boleh karena darurat, karena di dunia ini baru SSI India yang mampu membuat vaksin MR dan lolos prequalifikasi WHO untuk bisa di ekspor ke negara lain. Silakan lihat disini.

Sementara itu kita menunggu 3-5 tahun lagi vaksin MR yang diproduksi biofarma lolos uji klinis dan bisa dilepas di pasaran. Jadi sampai sejauh ini belum ada alternatif vaksin MR yang lain. Membuat vaksin tidak semudah berbicara, butuh kurun waktu 10 – 20 tahun dengan uji kelayakan berlapis. Ada China dan Vietnam yang saat ini mampu memproduksi vaksin MR juga, namun tidak lolos prequalifikasi jadi tidak bisa dijual di negara lain.

Biofarma sendiri sebagai produsen BUMN vaksin milik negeri adalah produsen vaksin terbesar di Asia tenggara, yang memproduksi 2 miliaran dosis vaksin pertahun dan mampu mengekspor ke 130 negara setelah melalui serangkaian uji kelayakan yang sangat ketat dari WHO. Beberapa vaksin masih dalam tataran penelitian dan belum bisa di lepas di pasaran sebelum diuji, termasuk vaksin MR ini, vaksin Rotavirus (vaksin untuk mencegah diare), Tifoid (untuk mencegah penyakit tifus), Pneumococus (untuk mencegah penyakit radang paru-paru), dll.

Kita seharusnya bangga, karena negara kita unggul dalam hal ini, dan bersabar untuk menanti produk dalam negeri yang in syaa Allaah akan disertifikasi halal. Karena penelitian vaksin sampai bisa dilepas di pasaran sendiri butuh waktu puluhan tahun.

Kenapa Kemenkes tidak mengajukan vaksin MR untuk disertifikasi? Tidak mendaftarkannya/tidak memberikan samplenya?

Sesuai dengan UU Jaminan Produk Halal (JPH) yang bisa dilihat disini. Yang seharusnya mengajukan SH bukanlah kemenkes, tapi PRODUSEN (Bagian ke 1, pasal 29 (1)). Jadi kalau ada yang mendengar berita mempertanyakan kemenkes tidak segera mendaftarkan SH, maka ini pertanyaan salah alamat. Dalam hal ini MR diproduksi oleh SII (Serum Institute of India), maka SII lah yang harus mendaftarkan diri untuk mendapatkan SH. Dan ini tentu saja tidak mudah, karena semua sistem mulai dari bahan baku hingga proses distribusi produk harus dipastikan dan bisa-bisa ditinjau langsung di India.

Jalan keluar yang bisa ditempuh:

– Mendorong produsen vaksin MR untuk mendaftarkan jaminan kehalalan pada lembaga halal di Luar Negeri yang melakukan kerjasama saling pengakuan (UU JPH, Pasal 46 (2), Pasal 47 (1))

– Pemerintah mendorong produksi vaksin MR dalam negeri, dengan pengadaan dana sekitar 2,7 trilyun (bisa dibaca disini).

Biofarma selaku produsen dalam negeri bekerja sama dengan SSI untuk belajar memproduksi vaksin MR dalam negeri, sehingga ke depannya Biofarma sebagai produsen bisa mengajukan SH bagi vaksin MR yang diproduksinya. Dan inipun telah diupayakan, namun asal diketahui produksi vaksin sangat ketat, membutuhkan uji kelayakan berlapis, dan saat ini telah masuk tahap uji klinis yang kira-kira baru bisa dilepas di pasaran 3 – 5 tahun lagi (jika lolos pre-kualifikasi).

Jangan-jangan ada kepentingan tertentu?

Saat ini negara-negara di Asia yang telah memproduksi vaksin MR adalah Jepang, India, China dan Vietnam, namun jika merujuk ke website WHO berikut ini. Hanya vaksin MR dari SSI (India) yang telah memenuhi standar prekualifikasi (pre-qualification, PQ) dari WHO. PQ WHO adalah syarat mutlak suatu vaksin boleh diekspor ke negara lain, di mana WHO harus memastikan bahwa vaksin di seluruh negara di dunia memiliki mutu dan kualitas yang sepadan, untuk memastikan keamanannya.

Jadi pemilihan vaksin MR diimpor dari India ini tidak ada kepentingan khusus, namun memang ini satu-satunya yang memungkinkan untuk diambil saat ini dan BELUM ADA ALTERNATIF VAKSIN MR LAINNYA. Tidak ada yang disembunyikan, karena kandungan vaksin-pun telah diungkapkan ke publik, dan memang tidak ada bahan yang haram di dalamnya.

Agar diketahui juga pengadaan vaksin ini dananya diambil dari APBN, tingkat provinsi bersumber dari APBD provinsi, tingkat kabupaten/kota bersumber dari APBN (tugas perbantuan) dan APBD kabupaten/kota berupa DAU (Dana Alokasi Umum) dan DAK (Dana Alokasi Khusus). Keterangan bisa dibaca disini. Demikian juga jika terjadi wabah, yang membiayai adalah pemerintah. Sedangkan harga vaksin MR ini kalau di Inggris ditawarkan seharga lebih dari 2,8 juta.

Jadi sebenarnya, kita sudah seharusnya sangat bersyukur dengan kepedulian pemerintah, dan sudah selayaknya pula kita berpartisipasi aktif menyukseskan program pemerintah untuk menumpas penyakit measles dan rubella. Tentu saja sambil terus berharap agar kelak vaksin MR produksi negeri/yang telah ber-SH dapat kita miliki. Namun untuk saat ini, cukuplah kiranya mengetahui kandungan vaksin tidak ada yang haram, dan sertifikasi SH tengah diupayakan. Dan hukum asal vaksin adalah BOLEH. Sehingga program pemerintah yang telah berjalan tetap harus dilaksanakan demi menghindari wabah.

——————————————————————————————-

Sekian sharing perihal vaksin MR. Semoga dapat memberi pencerahan dan kejelasan. Wallahu a’lam bisshawwab.

London, 25 Agustus 2018
Pukul 01.05

* * *

Tambahan Informasi bagi yang mau membaca lebih banyak lagi.

KOMPOSISI VAKSIN DAN HUMAN DIPLOID CELLS

MR-VAC

Saat ini beredar tentang kandungan vaksin MR yang disalahpahami. Jadi mari kita lihat komposisi vaksin MR sesuai yang tercantum di boxnya:

Vaksin ini terdiri dari bahan aktif berupa virus campak (strain Edmonston-Zagreb) dan virus rubella (strain Wistar RA 27/3) yang dilemahkan dan dikembang biakkan di embrio sel ayam (campak) dan human diploid cell (rubella), dan bahan-bahan tambahan lain sebagai stabilisator.

  1. Di box tertulis “propagated on Human Diploid Cells” (dikembang biakkan di sel diploid manusia)

Banyak hoax tersebar terkait ini:

– Menganggap banyak bayi diaborsi untuk mendapatkan sel diploid manusia dalam produksi vaksin. Ini jelas hoax. Jika kita merujuk sejarah: https://www.tandfonline.com/doi/full/10.4161/hv.18745

Penggunaan sel diploid manusia untuk pengembangan vaksin Rubella dimulai ketika pada pertengahan 1960-an terjadi wabah rubella. Infeksi rubella pada perempuan hamil menyebabkan congenital rubella syndrome (CRS). Tapi di tahun 1960, pengobatan belum semaju sekarang dan belum ada vaksinnya, jadi ancaman CRS benar-benar mengerikan, ribuan ibu hamil terpaksa melakukan aborsi pada masa itu.

Pada awalnya, katarak, tuli, dan penyakit jantung bawaan dianggap satu-satunya karakteristik yang mengidentifikasi CRS. Tapi pada musim semi 1963, epidemi rubella dimulai di Eropa dan kemudian menyebar ke Amerika Serikat pada tahun 1964 dan 1965, menjadikan banyak ribuan bayi cacat parah. Penelitian pada bayi-bayi ini mengungkapkan bahwa CRS memiliki banyak manifestasi dan mempengaruhi hampir semua sistem organ. Jadi, selain mempengaruhi 3 organ inti — lensa mata, koklea (telinga), dan jantung — CRS juga bisa menyebabkan timbulnya kerusakan bawaan di otak, paru-paru, hati, limpa, ginjal, sumsum tulang, tulang, dan organ endokrin.

Pada masa itulah peneliti tertarik untuk meneliti virus Rubella. Bagaimana cara mendapatkan virusnya? Tentu saja diambil dari janin yang terinfeksi virus ini, karena virusnya tidak ditemukan di janin sehat. Jadi virus Rubella ini pertama kali didapatkan dari janin yang terinfeksi oleh virus Rubella, jadi terpaksa digugurkan di trimester pertama (bukan janin sehat yang disengaja digugurkan).

Stanley Plotkin, peneliti dari kalangan akademisi (emeritus professor di Universitas Pennsylvania) bekerja di Wistar Institute, institute non-profit yang murni mengabdikan diri untuk penelitian bukan produsen pabrik vaksin, mencoba mengembang biakkan virus rubella ini (yang diberi nama RA27/3) pada sel diploid manusia (WI-38), sebuah sel sehat yang didapatkan dari janin pada trimester pertama melalui aborsi legal. Yang harus digarisbawahi di sini, sel itu bentuknya kecil sekali, kira-kira sepersepuluh diameter rambut. Jadi yang diambil sel yang sangat kecil ini, jangan dibayangkan virus dikembang biakkan di janin ya!

Sel hidup berkembang biak dengan cara membelah diri berulang-ulang, jadi sebenarnya lewat sel yang sangat kecil ini peneliti mencoba ‘menggandakan’ sel di laboratorium, tanpa perlu mengambil sel dari banyak janin jika ingin memperbanyak sel secara masal. Demikian pula virus bisa dikembang-biakkan di media sel ini di laboratorium.

– Kenapa virus tidak dikembang-biakkan di sel tumbuhan?

Virus hanya bisa hidup dan berkembang biak di sel makhluk hidup (tidak bisa hidup bebas di alam), dan tidak semua virus bisa menginfeksi (berkembang biak) di sel selain manusia. Contoh kalau anda kena flu lalu batuk-batuk di depan anak anda, virus flu berpindah dari anda ke anak anda, lalu berkembang biak di tubuh anak anda sehingga ikutan sakit. Tapi kalau anda batuk di depan tanaman padi, tidak menyebabkan padi jadi ikutan batuk-batuk kan?

– Tapi bukannya ada plant-based vaccines?

Vaksin jenis ini dimungkinkan dengan cara memodifikasi sel tumbuhan agar bisa diinfeksi oleh virus/bakteri yang juga dimofikasi genetiknya. Silakan baca jurnal berikut ini.

Kutipan:

“There is no plant-based vaccine that has received the license from US Food and Drug Administration (FDA). This is due to the fact that plant-based vaccines are classified under the genetically modified crop category”

Jadi vaksin berbasis tumbuhan ini saat ini belum ada di pasaran karena belum dapat lisensi dari FDA, karena masuk klasifikasi GMO (Genetically modified organism). Jadi Antivaks ini sebenarnya aneh, mengusulkan yang alami, menolak GMO karena takut jadi mutant (?), tapi dalam hal vaksin malah nyuruh berpindah ke produk GMO? Padahal alamiahnya bakteri/virus yang menyerang manusia ya tumbuhnya di sel manusia, atau paling tidak di hewan tertentu, bukan di sel tumbuhan yang harus dimofikasi genetiknya!

– Bukankah sel membelah ada batasannya? Kalau sudah tidak bisa membelah jadi perlu sel dari aborsi janin lagi donk?

Tidak perlu. Memang pembelahan sel di lab ada batasannya, ini dikenal sebagai Hayflick limit, yaitu sel membelah sampai 50x lalu terhenti. Nah 49 anak sel ini juga punya kesempatan membelah 50x ketika 1 sel induknya berhenti membelah, demikian seterusnya. Dengan demikian bisa diproduksi berton-ton sel hanya dari cukup 1x pengambilan sel dari sel janin.

Jadi yang dipakai di produksi vaksin saat ini adalah cicit dari cicit sel 50 tahun yang lalu yang dikembang-biakkan di lab, bukan dari sel primer hasil aborsi janin 50 tahun yang lalu. Produsen vaksin sendiri tidak berurusan dengan pengambilan janin 50 tahun yang lalu.

– Lalu apakah DNA sel diploid manusia ini akan terbawa di vaksin?

Jelas tidak. Sel dipakai hanya sebagai ‘lahan’ untuk mengembang biakkan vaksin. Sama seperti anda ternak ayam lalu di jual di pasar, kandangnya ga ikutan dijual! Bayangkan virus flu babi yang awalnya mewabah di populasi babi, virus berkembang biak di sel babi lalu menular ke manusia. Virus yang awalnya tumbuh di sel babi lalu tumbuh di sel manusia (yang tertular) tidak menjadikan DNA babi masuk ke tubuh anda! Demikian juga saat anda tertular virus flu dari penjahat tidak menjadikan DNA penjahat masuk ke tubuh anda dan tiba-tiba saja anda berubah ikutan jadi kriminal!

Lagipula produksi vaksin melibatkan proses ultrapurifikasi, yaitu pembersihan di tingkat molekul, untuk memastikan hanya partikel virus yang terambil. Juga dengan teknologi sequencing saat ini para peneliti biasa ‘membaca DNA’ virus, jadi jika ada modifikasi dari DNA manusiapun akan sangat mudah untuk dikenali.

– Apakah pemanfaatan sel manusia haram?

Tidak, sel manusia tidaklah dihukumi sebagaimana organ. Pakar forensik biasa menelusuri TKP untuk mencari sel-sel manusia yang tertinggal untuk mencari pelaku atau mengidentifikasi korban.

– Apakah sel diploid manusia ini haram dan najis karena berasal dari sel aborsi janin?

“Apa yang terpisah dari mayyit manusia hukumnya suci” (syarah Mandzumah ushul fiqih, kaidah ke-60)

Jadi pada asalnya sel inipun suci. Apalagi sel ini juga tidak masuk tubuh. Virusnya pun dihukumi suci. Kalau anda tertular virus flu babi yang sebelumnya berkembang biak di babi, apakah otomatis badan anda menjadi haram karena kemasukan sesuatu yang berasal dari babi? Atau haruskah anda luluran dengan tanah untuk mensucikan diri? Tiap hari tubuh kita keluar masuk kuman, baik itu virus maupun bakteri. Mereka ini sebelumnya bisa hinggab di mana saja, jika dihukumi najis, maka bisa-bisa tiap detik kita harus mensucikan diri.

Sel diploidnya sendiri tidak ikut masuk tubuh, bahkan kalau sel diploid ini dihukumi najis, bagaimana hukumnya dengan transfusi darah? Berapa banyak sel darah merah berpindah via transfusi darah? Padahal darah dihukumi haram ada pada 1 ayat dengan keharaman babi:

“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah” (Al-baqarah: 173)

Kenapa transfusi darah tidak ada yang menggugat keharamannya? Yang menolak sel diploid manusia, siap menolak transfusi kalau kecelakaan dan kehilangan banyak darah?

– Bukankah menggunakan bagian dari janin aborsi ini diharamkan?

Pada dasarnya produsen vaksin saat ini tidak terlibat sama sekali dengan aborsi janin yang terjadi 50 tahun yang lalu. Sel-sel turunan diperoleh secara halal, bahkan aborsi yang ada saat itu juga legal. Taruh kata aborsinya haram sekalipun, karena pemrosesannya halal maka kaidah yang berlaku:

“Sesuatu yang diharamkan karena usahanya, maka ia haram bagi orang yang mengusahakannya saja, bukan pada yang lainnya yang mengambil dengan jalan yang mubah (boleh)” (Liqo’ Al Bab Al Maftuh, kaset no. 2, Syaikh Utsaimin)

Tanpa kaidah ini, bisa-bisa anda harus memeriksa setiap uang yang anda peroleh, jangan-jangan pernah buat transaksi riba oleh pemilik sebelumnya?

  1. Kandungan vaksin MR selain virus

Vaksin MR tidak mengandung Thimerosal (mercury) dan juga tidak mengandung bahan yang berasal dari Babi. Karena vaksin MR telah melewati ijin edar dari BPOM yang jika bersinggungan dengan babi pasti akan ditampilkan di kemasan sebagaimana dengan (sebagian kecil) vaksin yang lain.

Informasi produk vaksin MR-Vac yang diproduksi Serum Institute of India (SII) menyebutkan vaksin ini berisi zat tambahan untuk menjaga stabilitasnya antara lain: gelatin, sorbitol, histidin, alanin, tricine, arginin, dan lactalbumin hydrolysate. Keterangan lengkap bisa dibaca disini.

Semua zat tambahan ini tidak berbahaya karena pada dasarnya adalah protein yang secara alami diproduksi oleh tubuh, atau bisa diperoleh dari makanan. Apalagi kandungannya sangat sangat kecil sehingga nyaris tidak berefek.

gelatin: secara alami diproduksi oleh tubuh

sorbitol: gula yang diproduksi dari syrup jagung

histidin: asam amino yang banyak didapatkan dari daging, ikan dan buah-buahan

alanin: sama dengan histidine

tricine: protein gel

arginine: asam amino yang terdapat pada banyak daging dan kacang-kacangan

lactabumin hydrolisate: protein yang banyak terdapat pada keju

Credit penulisan: Mila Anasanti
Dirangkum dan disusun: Dewi Nur Aisyah