“Being a parent is not about what you think best for yourself. It’s about doing what is best for your child”

Saat ini di tanah air sedang ramai berita tentang Kejadian Luar Biasa (KLB) difteri di banyak provinsi di Indonesia. Sedikit coretan ini akan membahas mengenai difteri, tentunya dari kaca mata epidemiologi. Difteri pernah menjadi penyebab utama penyakit dan kematian tertinggi pada anak-anak. Pada tahun 1921, terdapat 206.000 kasus difteri di Amerika Serikat dan mengakibatkan 15.520 kematian. Difteria juga merupakan penyebab utama kematian ketiga pada anak-anak di Inggris dan Wales pada tahun 1930-an. Sejak diperkenalkannya imunisasi yang efektif pada tahun 1920, angka kejadian difteri telah menurun secara drastis di Amerika Serikat dan negara-negara lain yang mencanangkan program imunisasi secara luas di wilayahnya.

Difteri blog 2
Chart kasus difteri di Amerika Serikat dan poster pencegahan difteri pada tahun 1900

Kapankah pertama kali ditemukan kasus difteri?

Difteri pertama kali digambarkan oleh Hippocrates pada abad kelima sebelum masehi. Dan pada kenyataannya, difteri telah menjadi penyebab utama kematian sepanjang sejarah, terutama pada anak-anak. Epidemi difteri juga pernah digambarkan terjadi pada abad ke 6 Masehi oleh Aetius.

Bakteri difteri pertama kali diamati di membran difteri oleh Klebs pada tahun 1883 dan dibudidayakan oleh Löffler pada tahun 1884. Setelah itu antitoksin difteri ditemukan pada akhir abad 19, dan toxoid mulai dikembangkan pada tahun 1920an, dan penggunaan luasnya selanjutnya menyebabkan penurunan difteri secara dramatis di seluruh dunia.

Bagaimana penularan difteri?

Difteri atau difteria disebabkan oleh bakteri Corynebacterium diphtheria, yang ditularkan melalui pernafasan dan kontak yang cukup dekat dengan penderita. Faktor risiko untuk terinfeksi difteri antara lain, imunisasi yang tidak ada atau tidak lengkap terhadap difteri, kondisi lingkungan yang terlalu padat dan/atau tidak sehat, sistem kekebalan tubuh yang rendah, dan perjalanan ke daerah di mana penyakit difteri bersifat endemik, terutama pada individu yang belum mendapatkan suntikan booster (vaksin).

Apakah benar vaksin efektif untuk mencegah difteri?

Berdasarkan penelitian panjang dan data-data di lapangan, vaksin DPT terbukti ampuh untuk mengurangi kasus difteri hingga 95%. Pernah terjadi epidemi difteri di Rusia pada tahun 1994 dikarenakan menurunnya angka cakupan imunisasi. Pada tahun 1994, Federasi Rusia mencatat 39.703 kasus kejadian difteri. Sebaliknya, pada tahun 1990, hanya ada 1.211 kasus dikarenakan cakupan vaksinasi yang luas.

Begitu pula dengan angka kasus baru difteri di Amerika pasca vaksinasi. Bahkan, pada tahun 2004-2009 tidak ada kasus difteri satu pun ditemukan di Amerika. Sedangkan pada tahun 1900 (sebelum vaksin), terdapat 147,991 kasus difteri yang mengakibatkan 13,170 kematian. Gambaran efektivitas vaksin untuk mengurangi kasus difteri di Amerika bisa dilihat pada grafik di bawah ini.

dif us

Laporan serupa juga dilaporkan dari Inggris. Sebelum vaksinasi diperkenalkan di Inggris pada tahun 1942, rata-rata terjadi 55.000 kasus difteri yang menyebabkan sekitar 3.500 kematian setiap tahunnya. Angka kasus baru difteri menurun drastis pasca cakupan penerapan imunisasi yang luas.

dif uk

Lalu bagaimana dengan angka kejadian difteri di Indonesia?

Di bawah ini adalah grafik yang saya buat berdasarkan data dari WHO hingga tahun 2016. Bisa juga dilihat bahwa jumlah kasus difteri menurun drastis pasca diterapkannya program imunisasi.

dif ind

Kalau dilihat-lihat, kenapa grafik di USA dan UK cenderung landai datar tapi di Indonesia terlihat angka kasus yang naik turun? Hal ini disebabkan minimum cakupan imunisasi di masyarakat tidak tercapai sehingga menyebabkan epidemi kecil di beberapa waktu (penjelasan lebih lengkap dibawah). Sebagaimana kondisi saat ini ketika jumlah kasus cenderung meningkat. Kementerian Kesehatan mencatat, dalam kurun waktu Januari hingga November 2017, terdapat 95 kabupaten dan kota dari 20 provinsi yang melaporkan kasus difteri. Secara keseluruhan terdapat 593 kasus, 32 di antaranya meninggal dunia. Hal ini menunjukkan case fatality rate difteri mencapai angka 5.4%. Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan, Muhammad Subuh, mengungkapkan pada kurun waktu Oktober hingga November 2017, ada 11 Provinsi yang melaporkan terjadinya KLB difteri, yakni Sumatera Barat, Jawa Tengah, Aceh, Sumatera Selatan, Sulawesi Selatan, Kalimantan Timur, Riau, Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat dan Jawa Timur.

Apa yang menyebabkan wabah difteri muncul?

Sebagaimana sudah saya jelaskan pada postingan sebelumnya (bisa dibaca disini), angka kejadian penyakit bergantung kepada beberapa hal, yaitu : 1) I – Jumlah orang yang terinfeksi (karena mereka adalah sumber penularan) 2) S – Jumlah orang yang susceptible/sehat (karena kelompok ini adalah orang yang mendapat paparan) 3) R0 (basic reproduction number) atau jumlah seseorang yang sakit untuk menyebarkan penyakitnya ke beberapa orang dalam satu waktu 4) c- contact pattern atau seberapa banyak kontak yang terjadi antara yang sakit dengan yang sehat. Atau rumus sederhananya menjadi E (yang terinfeksi) = R0 x c x I x S

Naah… disini kita bisa melihat beberapa faktor yang mempengaruhi. R0 saja berbeda-beda setiap penyakit, mulai dari Ebola (1.5-2.5), Infuenza (2-3), Pertussis (5.5), Polio (5-7), Smallpox (5-7), hingga measles/cacar (12-18). Sedangkan untuk difteri R0 nya adalah 6-7. Angka ini menunjukkan bahwa dari satu kasus penyakit difteri, dapat menularkan kepada 6-7 orang dalam satu waktu. Anak-anak memiliki resiko tertinggi terpapar dikarenakan kontak yang lebih banyak dan lebih luas kepada teman-teman bermainnya, sehingga penularan dapat terjadi dengan sangat cepat.

R0 - 2

Kalau saya melihat angka kejadian difteri di Indonesia yang terus meningkat, utamanya disebabkan oleh herd immunity yang tidak terbentuk dikarenakan minimum threshold cakupan vaksinasi tidak tercapai. Ini pula yang menjawab pertanyaan kenapa ada orang yang divaksin dan masih saja kena penyakit? Untuk memastikan suatu wilayah “bersih” dari penyakit, harus memenuhi kaidah herd immunity threshold. Artinya, kalau minimum cakupan imunisasi tidak tercapai di suatu wilayah, bisa dipastikan penularan akan tetap berlangsung. Itulah sebabnya ada orang yang tidak divaksin tapi sehat (bisa karena herd immunity threshold tercapai atau 4 faktor di atas rendah) dan orang yang sudah divaksin tetap sakit (tingginya 4 faktor di atas ditambah herd immunityrendah). Namun sebagai catatan, bagi mereka yang sudah divaksin, karena tubuh sudah latihan, sudah punya kisi-kisi penyakitnya, jadi akan lebih mudah menghadapi penyakit tsb (lebih ringan gejala atau tidak lebih parah kondisinya).

Untuk melihat data mengenai cakupan imunisasi, saya coba melihat data WHO terbaru (diupdate per Juli 2017). Dari peta di bawah ini, kita bisa melihat bahwa estimasi cakupan imunisasi DPT 3 pada balita untuk Indonesia masih di angka 50-79%, sedangkan untuk memenuhi herd immunity threshold, diperlukan cakupan antara 90%-95%.

dif dunia

Di luar masih banyaknya orang tua yang belum aware untuk mengikuti program vaksinasi, ada beberapa hal lain yang juga dapat menjadi tantangan tetap terjadinya wabah difteri meskipun peran beberapa hal ini jauh lebih kecil dibandingkan dengan tidak imunisasi. Misalnya, imunisasi DPT yang tidak lengkap, kasus vaksin palsu, atau penyimpanan rantai dingin vaksin di fasilitas kesehatan yang belum memenuhi standar.

Btw, kalau dicermati lagi gambar di atas, ada sesuatu yang menarik, dapat kita lihat bahwa cakupan imunisasi di Arab Saudi lebih dari 90%. Iya, negara Islam sekelas Arab Saudi dengan banyak scholars di bidang fiqih, qur’an dan hadist pun bersepakat bahwa vaksin hukumnya menjadi wajib (di negara Saudi) menimbang manfaat dan mudharat yang didapat. Bahkan imunisasi menjadi syarat untuk mendapatkan akte kelahiran, mendaftar sekolah, hingga pembuatan passport untuk warganya.

Jadi, lebih baik vaksin atau tidak?

Jadi begini, ada dua jenis imunitas, yaitu memori imunitas/imunitas aktif dan imunitas bawaan/imunitas pasif. Contoh imunitas bawaan adalah ASI. Sebagai gambaran agar mudah pemahamannya, analoginya ibarat Allah telah menganugerahkan kemampuan akal pada manusia (imunitas bawaan). Kita bisa menguatkan kemampuan otak ini dengan suplemen DHA, EPA dan makan makanan bergizi sebagaimana multivitamin, herbal, madu dan sebagainya. Suplemen ini akan meningkatkan daya ingat otak secara umum, namun tidak spesifik. Sehingga menguatnya daya ingat itu tidak akan menjadikan kemampuan otak kita mampu menjawab soal-soal dalam ujian fisika, kimia atau biologi. Untuk menstimulasi otak menguasai pelajaran-pelajaran tersebut, kita harus merelakan diri kita ‘terpapar’ kisi-kisi soal yang akan keluar pada saat ujian. Jika kita latihan dengan soal-soal di suatu bidang tertentu, maka saat menghadapi soal ujian betulan, kita sudah siap dan bisa mengerjakan dengan mudah. Dan yang harus diingat, memori ini spesifik, latihan soal ujian fisika misalnya, tidak akan menjadikan kita jadi mampu mengerjakan soal biologi. Istilahnya kita harus rela ‘terpapar’ belajar pada masing-masing subyek pelajaran. Demikian juga vaksin, vaksin campak ya untuk melindungi campak, vaksin cacar ya untuk cacar. Bukan berarti mereka yang sudah divaksin campak, tidak akan tertular cacar, karena memang memori imunitas ini haruslah spesifik dalam mengenal virus tertentu.

Saya tidak bilang bahwa ASI, multivitamin, tahnik, atau herbal itu tidak baik. Saya pro-ASI koq, anak saya full dapat ASI 2 tahun. Multivitamin juga tidak ketinggalan. Tahnik pun sunnah yang diajarkan Rasulullaah, maka saya meyakini benar kebermanfaatannya. Namun sebaiknya kita tambahkan lagi ikhtiar kita, dengan memvaksinasi anak-anak kita, agar semua sarana dilakukan untuk membuat imunitas anak berkembang baik untuk melawan virus-virus dan penyakit. Bukan, pilihan ini bukan hanya untuk kita, namun utamanya untuk masa depan mereka…

Maka melalui tulisan ini, saya hanya ingin mengajak para orang tua untuk lebih bijak mengambil keputusan untuk anak-anak kita. Pilah dan pilih keputusan setelah bertanya kepada yang ahlinya. Bukan karena ngikutin ibu A, bapak B, atau sekedar bisikan tetangga :D. Karena kesehatan adalah hak mereka, maka menjadi kewajiban kita untuk memenuhinya. Let’s be a wise, smart, and responsible parent for our children future!

“Your children are the greatest gift Allah gave to you, and their souls are the heaviest responsibility He placed in your hands. Made wise judgement for their future, give them the best, and let Allah take care of the rest…”

Menulis di tengah lelapnya duo kesayangan,
London, 9 Desember 2017
Suhu 0 derajat pukul 03.45


Bonus bagi yang ingin tahu sejarah tentang difteri sudah coba saya ringkas di bawah ini:

1613 – Pada tahun ini terjadi epidemi difteri di Spanyol, yang dinamakan “El Año de los Garotillos” atau bermakna “strangulations”

1735 – Epidemi difteri terjadi di New England. Dalam beberapa kasus, seluruh keluarga meninggal karena penyakit ini. Di satu kota di New Hampshire, 32% anak di bawah 10 tahun meninggal karena difteri. Case fatality rate hampir mencapai 40%. Bahkan Nuh Webster (1758-1843) menulis, Saat itu benar-benar terjadi wabah di kalangan anak-anak. Banyak keluarga kehilangan tiga atau empat anak-anaknya, bahkan banyak yang kehilangan semua anaknya.” Pada saat itu, pengobatan di dunia kedokteran belum menemukan cara yang efektif, seperti pendekatan yang dijelaskan di koran Boston.

Difteri blog
[Kiri] Ilustrasi pengobatan yang dilakukan dikutip dari Frank Waxham (1888) dan [kanan] cuplikan dari koran Boston mengenai evaluasi pengobatan difteri
1826 – Bakteri difteri yang diberi nama. Difteria, yang sebelumnya disebut dengan berbagai nama, mendapatkan nama resminya dari dokter Prancis Pierre Bretonneau (1778-1862), yang menyebut penyakit ini diphtérite.

1883 – Bakteri yang teridentifikasi. Edwin Klebs (1834-1913), ahli patologi Swiss-Jerman, mengidentifikasi dan menggambarkan bakteri yang menyebabkan difteri. Awalnya dikenal sebagai bakteri Klebs-Loeffler.

1884 – Kontribusi Loeffler. Friedrich Loeffler (1852-1915), seorang ahli bakteriologi Jerman, adalah orang pertama yang menanam Corynebacterium diphtheriae.

1888Roux dan Yersin Selidiki Bakteri Difteri. Émile Roux (1853-1933) dan Alexandre Yersin (1863-1943) menunjukkan bahwa zat yang dihasilkan oleh C. diphtheriae menyebabkan gejala difteri pada hewan.

1894 Penggunaan antitoksin dini di Amerika. Dua dokter muda (G.J. Hermann, MD, dan Charles Waugh Reynolds, MD) merawat seorang anak perempuan berusia dua tahun dengan antitoksin difteri, yang mereka dapatkan dari perjalanan mereka ke Eropa. Ini adalah salah satu penggunaan antitoksin difteri yang paling awal didokumentasikan di Amerika Serikat.

1895 – Antitoksi difteri terus dikembangkan dan mulai pertama kali diproduksi massal di amerika pada tahun 1895. Perlu diketahui bahwa perjalanan menemukan vaksin yang efektif bukan sekali jadi, namun perlu terus diperbaharui, hingga akhirnya pada tahun 1907 vaksin difteri yang efektif sudah berhasil ditemukan.

1907 – Menuju Imunisasi. Emil von Behring menerbitkan sebuah makalah yang menunjukkan bahwa campuran toksin difteri dan antitoksin menghasilkan imunitas yang aman dan tahan lama pada difteri pada manusia.

1974 – WHO menganjurkan DPT. Organisasi Kesehatan Dunia memasukkan DTP ke dalam daftar vaksin yang direkomendasikan untuk Program Perluasan Imunisasi yang baru untuk negara-negara berkembang.

Bagi yang ingin menelaah sejarah difteri di dunia bisa dibaca di link ini.