“The more you read, the more you know. The more that you learn, the more places you’ll go” (Dr. Seuss)
Pada sebuah PhD forum, mahasiswa PhD di Farr Institute berkumpul dan ngobrol-ngobrol (kongkow-kongkow kalau bahasa kita mah :D)
Maxine: Have you read the latest article mentioned about social media helps you to boost your research?
Victoria: Oh yeah, I saw it on twitter!
Lalu obrolan kami pun berlanjut membahas efektivitas sosial media untuk mempublikasikan hasil penelitian, hingga potensi blog, twitter, instagram, etc untuk menyebarkan hasil studi atau kajian. Lalu obrolan kami pun berlanjut ke topik yg lain,
Jane: I read a book about an astronaut’s life on space. It’s very interesting!
Me: What’s the title of the book?
Catherine: Oh yeah, I think I have already read it. Is it An Astronaut’s Diary by Jeffrey A. Hoffman? He mentioned about his experiences chosen to go on space and how it was going…
Obrolan di PhD forum memang cukup random, tapi serandom-random nya masih berkutat kepada hasil penelitian, buku yang menarik, atau update terbaru tentang Inggris. Dan obrolan kami pun berlanjut hingga 1 jam ke depan…
——
Kalau kita dalami percakapan di atas, saya menyadari bahwa “kesadaran membaca” orang-orang Inggris memang cukup tinggi. Bisa roaming saya karena “selera” buku yang bisa jadi berbeda. Bahkan, ada sebuah ungkapan yang saya ingat betul, tentang bagaimana cara membedakan mana orang British (keturunan Inggris) atau bukan. Caranya mudah! Hal ini bisa teridentifikasi jika kita sedang berada di kereta saat perjalanan menuju kampus atau kerja. Gampang membedakannya. Kalau orang British pasti memegang koran atau kindle (e-book) dan membaca di sepanjang perjalananya. Sedangkan kebanyakan orang non-British (biasanya pendatang atau imigran) membuka hp atau tertidur, hihi… *Adakah yang merasakan hal yang sama? 😀
Lalu saya jadi teringat sebuah laporan yang dirilis resmi oleh The World’s Most Literate Nations (WMLN) pada bulan Maret tahun 2016 lalu. Hasil laporannya cukup mengejutkan. Indonesia dinyatakan menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara jika dilihat dari minat membacanya. Itu artinya Indonesia berada pada peringkat paliiing bawah dalam hal minat membaca. Kalau kita bandingkan dengan Amerika yang rata-rata warganya (usia >18 tahun) biasa membaca 11-20 buku dalam setahun atau Jepang yang hampir seluruh warganya (usia >15 tahun) melek huruf, bagaimana dengan negara kita tercinta?
Saya baca lagi report itu. Ingin mencari tahu negara mana sih yang dinobatkan sebagai negara yang paling bagus minat baca dan angka literasinya. Bisa menebak kah?? Ternyata eh ternyata, peringkat 5 besar diduduki oleh negara Skandinavia, mulai dari Findlandia, Norwegia, Islandia, Swedia, dan Denmark. Swiss berada pada peringkat 6, USA 7, Kanada 11, Perancis 12, dan UK berada pada peringkat 17. Bergumam dalam hati, peringkat 17 aja bacaan anak kesehatan sampai ke astronomi ya, hehe… 😀
Saya jadi ingin mengambil nilai dari negara-negara maju ini. Bahwa ternyata membaca itu bukan karena ada perlu, tapi memang sebuah keperluan yang menjadi bagian dari keseharian selalu. Membuat hari tak sekedar berlalu, tapi juga mendapat “asupan” yang bermutu. Saya jadi ingat supervisor saya, selain beliau adalah tipikal orang yang selalu memilih naik tangga ke lantai 4 atau berjalan 20 menit menuju kampus, beliau juga tipikal orang yang tahu setiap update ilmu pengetahuan di bidangnya. Beliau subscribe jurnal-jurnal atau sumber bacaan bermutu. Iya ya, orang yang bermanfaat itu akan selalu bermula dari seberapa banyak bacaan yang diserapnya seiring waktu.
Kembali ke topik, saya mencoba mencari apa sih yang membuat negara-negara Skandinavia itu begitu tinggi angka literasinya. Ternyata, faktor pertama adalah karena budaya membaca yang diwariskan secara turun-temurun. Contoh paling sederhana, budaya membaca di keluarga atau menceritakan dongeng kepada anak sebelum tidur. Atau membiasakan cara mengisi waktu luang ya dengan memberikan buku bacaan. Maka tak heran kalau saya lihat anak yang tumbuh besar disini, sembari ibu bapaknya mengaji, sang anak juga asik membaca buku sendiri. Maka ini menjadi PR bersama untuk para orang tua, karena kebiasaan anak itu bermula dari didikan di rumahnya. Buatlah mereka mencintai buku dan ilmu, niscaya banyak kebermanfaatan dan kebaikan yang dapat diukirnya selalu.
Saya beruntung memiliki orang tua yang meskipun hanya lulusan pendidikan rendah (menyelesaikan program sekolah wajib pun tidak), ayah saya sangat mencintai buku. Sedari kecil saya terbiasa melihat lemari di ruang tengah penuh dengan buku-buku, tepatnya buku agama. Maka tak heran jika ketika SMP saya sudah terpapar (membaca sedikit-sedikit) kitab Riyadhlus Shalihin, Al- Lu’lu’ wal Marjan, Bulghul Maram, atau Tanbihul Ghafilin. Iya, yang bahkan jika saya ingat, kertasnya sudah berwarna kuning dan tertulis terbitan tahun 1988, bahkan buku itu sudah ada sebelum saya lahir ke dunia 😀 Iya, saya hanya ingin mengatakan, siapapun dirimu, jika memang kita mencintai ilmu, niscaya nilai itu yang akan kita tanamkan kepada anak-anak kita selalu. Meski di tengah keterbatasan, atau tidak dalam kondisi yang ideal. Karena akhlaq itu adalah sesuatu yang kita tanam, dan semua bermula dari pengajaran…
Saya juga melihat budaya serupa di Inggris. Contoh kecil seperti “reading day” yang diadakan sekolah setiap minggunya. Atau pojok buku yang selalu tersedia di children center dan sekolah, dengan rak-rak buku besar yang berisi bacaan-bacaan bermutu. Atau di perpustakaan, selalu ada hari mendongeng, gratis untuk anak-anak! Hal-hal inilah yang membuat membaca menjadi sebuah kebiasaan, bahkan kebutuhan. Seperti apa yang dikatakan oleh Maya Angelou, “Any books that help a child to form a habit of reading, to make reading one of his deep and continuing needs, is good for him”
Faktor penunjang selanjutnya adalah… PERPUSTAKAAN. Untuk meningkatkan minat baca, perpustakaan tentu berperan penting sebagai sarana utama. Iya, bahkan bisa dibilang perpustakaan itu layaknya surga buku-buku. Di Inggris sendiri, perpustakaan itu bueesaaar sekali, dan tertata dengan sangat rapi. Koleksinya pun beragam dan mencakup hampir seluruh ilmu pengetahuan. Maka mengingat angka literasi yang rendah di Indonesia, saya sangat menghargai usaha-usaha untuk memajukan anak bangsa seperti program Pelita Pustaka yang diinisiasi oleh Sukanto Tanoto melalui Tanoto Foundation. Pelita Pustaka memberikan bantuan berupa menyediakan buku-buku maupun memperbaiki/membangun perpustakaan di sekolah-sekolah pedesaan. Sasaran yang tepat untuk meningkatkan minat baca para putra daerah, yang bisa saja berpotensi, namun tidak terfasilitasi.
Saya jadi teringat Leadership Project yang diadakan awardee BPRI (Beasiswa Presiden Republik Indonesia) saat Program Kepemimpinan. Kami juga membangun dan memperbaiki perpustakaan di sebuah desa di daerah Parung Panjang. Liputan lengkap kegiatan BPRI bisa dilihat di video ini (menit .35 s.d 5.41).
Mungkin sekian sedikit celoteh saya tentang budaya membaca. Semoga bisa menjadi pengingat untuk kita semua, termasuk saya. Agar membaca bukan hanya sekedar ketika perlu aja (contoh saat ngerjain tugas atau skripsi, siapa hayooo yang kaya gini :D), tapi menjadikannya sebagai sebuah BUDAYA. Kalau baca timeline FB atau IG aja bisa menghabiskan waktu lama, mengapa tidak sisihkan waktu kita untuk membaca bacaan bermanfaat untuk dunia dan akhirat kita. Ini juga pengingat agar seletih apapun juga, di saat anak minta dibacakan buku, kita tetap dapat memenuhi inginnya. Membuat mereka “jatuh cinta” dengan membaca, menimba ilmu darinya. Ini juga refleksi bagi saya, agar mencintai membaca karena-Nya. Karena tak mungkin kita bisa berbagi jika kita tidak memiliki isi. Tidak mungkin bisa memberi jika tidak mengetahui. Mengingatkan diri bahwa jika kita ingin menjadi orang yang banyak memberi manfaat kepada sesama, semua bermula dari membaca…
“You have to have really wide reading habits and pay attention to the news and just everything that’s going on in the world: you need to. If you get this right, then the writing is a piece of cake.” (Terry Pratchett)
Menulis selepas sahur,
London, 6 Ramadan 1438 H
June 1, 2017 at 3:09 am
Yang baca tadi anaknya mbak? Manies sekali…
Yah ironis memang, tapi untuk sekarang udah lumayan banyak kok mbak aktivis2 komunitas baca di indonesia..
Yah semoga terus berkembang saja komunitas tersebut dan ditiru oleh yang lainnya
June 4, 2017 at 2:19 am
Iya, itu anak saya. Iya, saya juga mendukung aktivitas2 serupa. Tapi tetap, menurut saya akar utama yg harus diubah adalah dr tradisi keluarga 🙂
June 1, 2017 at 3:19 am
Wah .. harus introspeksi nih mba … 😦
June 4, 2017 at 2:19 am
Sama, saya jg introspeksi diri sembari menulis ini 😀
June 1, 2017 at 3:30 am
Kita harus lari kencang utk masalah literasi…zaman skrg informasi sgt cepat menyebar terutama via aplikasi chat/messenger, orang2 lbh sering baca broadcasted message drpd baca buku 😦
June 4, 2017 at 2:20 am
Iya betul, teguran jg utk saya. Agara menit yg berlalu utk membaca buku ga kalah dgn waktu yg digunakan utk membaca timeline, apalagi sharing sesuatu yg tdk bisa qt pertanggungjawabkan 🙂
June 1, 2017 at 4:10 am
Setuju sekali, seseorang akan banyak berbicara sesuai dengan apa yg ia baca.
Tentang baca jurnal berbahasa inggris, saat ini sy melakukan penelitian, dan sdg dijejali banyak jurnal berbahasa inggris. Memang butuh waktu dan usaha 2 kali lipat utk melakukan itu semua. Kadang merasa bosan, dan ingin menyerah saja krn meski sdh dibaca berulang kali, tetap saja tak masuk dan paham. Ditambah bhs inggris msh kacau. Teh dewi, boleh sharing gmana dulu teh dewi bljr bhs inggris dan masa2 teh dewi banyak baca jurnal inggris yg itu sungguh berat dilakukan.. padahal tanpa kita baca, kita tak akan tau apa2..
June 4, 2017 at 2:22 am
Perihal jurnal berbahasa Inggris, saya pernah mendengar kalimat ini dari pakar psikologi kalau tidak salah. Bahwa saat otak kita mempelajari dan menghafal sesuatu yg baru, pertama kali ia akan masuk ke otak besar. Untuk menjadi sebuah hafalan yg mengendap dalam memori kita, kita harus mengulang2 berkali2 hingga apa yg dipeajari masuk ke otak kecil. Naah di proses mau masuk ke otak kecil itu efek yg biasa timbul adalah pusing. Kuncinya memang membiasakan diri. Kalau sudah terbiasa, pasti pusingnya akan berkurang. Jadi kalau pusing jgn berhenti, lanjut lg mempelajari. Jangan menyerah ya. Semoga Allah mudahkan… 🙂
June 4, 2017 at 6:52 am
Waah- trnyata begitu.. okaay teh dewii, siaapp.. terimakasih atas jawaban nyaa.. salam untuk keluarga, terutama Najwa.. semoga jd anak yg sholihah 😀
June 1, 2017 at 4:29 am
Setuju banget teh dewii. Seseorang akan berbicara sesuai dengan apa yang ia sering baca.
Teh dewi, sy sdkt tersentil. Hhe, tentang membaca jurnal berbahasa inggris. Sy saat ini sdg melakukan penelitian, dimana banyak jurnal2 baik itu berbahasa inggris maupun indonesia harus sy baca. Memang benar, sy sering merasa pusing membaca jurnal, apalagi klo itu brbahasa inggris. Butuh 2 kali lipat usaha dan kemauan utk serius membaca nya. Itu baru membaca. Belum memahaminya. Krn membaca sj blm tentu memahami. Dan sy sering membaca berkali kali sebuah paper. Tp tak paham2 isinya. Butuh konsentrasi khusu memang.. Hhehe..
Teh, boleh sharing tidak bgaiamana teh dewi bisa berbahasa inggris baik pasif maupun aktif dgn lancar shg bisa hidup di Inggris? Sbnrnya pertanyaan klasik. Tp sy ingin tau dr pengalaman teh dewi. Lalu dulu bagaimana cara teh dewi mengatasi kebosanan dlm membaca jurnal ?
June 1, 2017 at 6:56 am
Assalamu’alaikum mba aisyah..
Saya mahasiswa smt.4 s1, saya tahu bahwa manfaat membaca buku itu banyak sekali
Namun saya bukan dari keluarga yang mempunyai kebiasaan melahap buku-buku bacaan
Saya ingin mempunyai kebiasaan untuk membaca buku tapi saya bingung bagaimana caranya
Saya sudah coba untuk membaca buku dengan target bisa melahapnya sampai habis namun seringkali diri ini dilanda rasa bosan dan apalagi jika penyakit malas mulai menyerang.
Saya ingin tapi blum bisa melakukannya..
Bagaimana mba dewi agar dapat memiliki kebiasaan membaca terlebih saya baru ingin memulainya kembali di umur saya ke 19 thn ini?
Terima kasih mba atas artikel sharingnya yg sudah menggugah hati saya..
Saya harap mendapatkan jawaban dari mba dewi..
Semoga lancar dan berkah mba dewi dalam menyelesaikan studinya.. Aamiin Yaa Rabbal’alamin..
Wassalamu’alaikum
June 1, 2017 at 10:19 am
I love this article especially the last part: “You have to have really wide reading habits and pay attention to the news and just everything that’s going on in the world: you need to. If you get this right, then the writing is a piece of cake.” (Terry Pratchett) Makasi Dewina..
June 1, 2017 at 12:06 pm
Sekarang saya lihat sudah makin banyak yang berusaha untuk mnumbuhkan minat baca. Saya dengar kabar bahwa ada teman saya yang sudah buka perpustakaan khusus untuk desanya. Ada juga teman teman mahasiswa lainnya yang mendapatkan program hibah bina desa yang berhubungan dengan baca-membaca.
Semoga selalu dikembangkan dan semakin bermanfaat. 😊
June 1, 2017 at 12:11 pm
Ohyaa dan di sini (Semarang) ada loh kak kelompok / komunitas mendongeng. Jadi mereka memang berkecimpung untuk menghidupkan kembali minat dongeng di Indonesia (mgkin untuk sementara ini masih di wilayah Semarang hehee). Tapi kalau saya pikir di Semarang saja ada, bisa jadi di wilayah lain juga ada kak…
Memang kalau dilihat dari peringkat, Indonesia masih kalah dengan negara lainnya. Tapi kalau dilihat dari usaha para pemuda pemudi, ini masih bisa diharapkan. InsyaAllah masih bisa untuk menjafi lebih baik lagi, kak…
Terima kasih atas cerita cerita kakak yang menginspirasi negeri ini…😊😊
June 1, 2017 at 5:55 pm
Tulisan ibu sangat menarik.
Saya punya pertanyaan, di umur 20 tahun saya masih sering membaca novel dan komik, padahal seharusnya sudah jadi kewajiban saya untuk membaca2 jurnal kuliah.
Bagaimana ya Bu cara membentuk kebiasaan membaca jurnal2 maupun textbook kuliah?
Terima kasih 😊
June 1, 2017 at 10:55 pm
MasyaAllah mba tulisannya sangat menyentuh, dan menjadi intropeksi bagi diri saya sendiri yg masih lalai memanfaatkan waktu dengan membaca. terimakasih mba 🙂
June 2, 2017 at 9:54 pm
Reblogged this on Zakiyatun Najwah and commented:
Today a reader, tomorrow a leader
June 3, 2017 at 1:46 am
Inspiring banget mbak. Saya setuju, semua berasal dari kebiasaan yg dibawa sejak dini di lingkungan keluarga.
June 4, 2017 at 3:23 pm
Mantap mbak, makjleb banget ktika lihat INA brda di posisi tsb.
June 5, 2017 at 12:50 am
Masya Allah.. sangat menginspirasi mbak.
Terimakasih mbak Dewi, benar2 menjadi inspirasi saya dalam Syari’i berprestasi
June 6, 2017 at 3:59 am
mbak dew, membaca tulisan ini bikin tambah semangat buat S3, padahal s1 aja belum selesai. heheh..
mohon doanya ya mbak, semoga dilancarkan untuk belajar, nyuri ilmu Allah yang banyak. aamiin ❤
June 7, 2017 at 7:47 pm
Reblogged this on Digital Life and commented:
Budayakan membaca, karena membaca bukan hanya untuk keperluan semata namun menjadi kebutuhan jiwa. 🙂
June 18, 2017 at 7:49 am
Wahhh, iya mbak dewi bener banget saya saja yang udah umur 21 tahun masih saja sulit untuk membiasakan diri untuk suka membaca :”) Padahal dulu guru saya menasehati saya untuk menghabiskan bacaan minimal 1 buku per bulannya. Sayangnya, hingga sekarang saya masih belum bisa memenuhi nasehat dari guru saya tersebut. Kalau boleh tau, adakah tips dari mbak dewi agar kita mulai terbiasa untuk membaca? Terima kasih sebelumnya 🙂
July 24, 2017 at 11:02 am
Reblogged this on Perempuan Penikmat Luka and commented:
Setelah membaca ini aku jadi tercerahkan kembali untuk jadi oembaca yabg baik.